TRADISI
KUPATAN ( LOMBAN ) DI JEPARA
Disusun
guna untuk menyelesaikan
Tugas
Manusia dan Kebudayaan Indonesia
Dosen
Pengampu : Sri Indrahti

Oleh
:
Nama
: Eri Murgiyanti
NIM : 13040112120021
Kelas : A
Jurusan : Ilmu Perpustakaan
Fakultas
: Ilmu Budaya
FAKULTAS
ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
TAHUN
AKADEMIK 2012/ 2013
ABSTRAK
Tradisi kupatan (tradisi syawalan/ bada kupat)
di Jepara ialah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Jepara pada sepekan
setelah hari raya Idul Fitri atau pada tanggal 8 syawal di
Pantai Kartini Jepara, dengan melarung kepala kerbau ke tengah lautan. Berita ini berasal dari majalah Melayu bernama
Slompret Melayu yang terbit di Semarang pada paruh kedua abad XIX edisi tanggal 12 dan 17 Agustus 1893
yang menceritakan keadaan lomban pada saat itu dan sekarang masih tetap
dipertahankan. Maksud
dari upacara pelarungan ini adalah sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada
Allah, yang melimpahkan rizki dan keselamatan kepada warga masyarakat nelayan
selama setahun dan berharap pula berkah dan hidayahnya untuk masa depan.Tujuan
diadakannya Pesta Lomban ini sebagai bentuk nyata peran Pemerintah Kabupaten
Jepara dalam melestarikan budaya lokal Jepara, sebagai salah satu bentuk
kearifan lokal Jepara sekaligus event untuk mempromosikan potensi wisata
Kabupaten Jepara khususnya wisata budaya yang dimiliki Kabupaten Jepara.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hambanya
menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan-Nya mungkin
kami tidak sanggup akan menyelesaikan dengan baik. Makalah ini disusun agar
pembaca dapat memahami dan memperluas tentang Tradisi Lomban atau Kupatan di
Jepara yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber.
Makalah ini di susun dengan berbagai
rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari
luar. Namun dengan penuh kesabaran makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini memuat tentang penjabaran mengenai Tradisi
Lomban atau Kupatan di Jepara. Walaupun makalah ini mungkin kurang
sempurna tapi juga memiliki detail yang cukup jelas bagi pembaca.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen
Mata Kuliah Manusia dan Kebudayaan Indonesia yaitu Bu Sri
Indrahti, yang telah membimbing kami agar dapat mengerti tentang bagaimana cara
kami menyusun makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang
lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kami mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.
Semarang, 23 Mei 2013
Penulis
BAB
1
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Setiap
tradisi yang mampu bertahan lama, pastilah melalui proses evolusi kebudayaan
yang panjang dan memiliki kesamaan akan historis. Evolusi yang diikuti
akulturasi itu, pada akhirnya menimbulkan keselarasan dan kecocokan dengan
masyarakat penganutnya. Begitu halnya dengan tradisi kupatan atau lomban di
Jepara.
Jepara
sebagai kota yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan mempunyai
satu tradisi warisan leluhur yang masih disakralkan hingga kini yaitu Tradisi
Syawalan( kupatan) atau biasa disebut Pesta Lomban. Masyarakat Jepara
menganggap Pesta Lomban menjadi sebuah upacara ritual tahunan yang sakral dan
memberikan kekuatan spiritual yang kuat bagi para nelayan untuk kembali melaut
mencari nafkah dan merupakan ritual penolak balak di lautan, sehingga merasa
nyaman dalam bekerja.
Pesta Lomban merupakan pesta masyarakat nelayan di
wilayah Kabupaten Jepara dalam bentuk sedekah laut. Namun kini sudah menjadi
milik keseluruhan masyarakat Jepara, bukan nelayan saja. Pesta ini merupakan
puncak acara dari Pekan Syawalan yang diselenggarakan pada tanggal 8 syawal
atau 1 minggu setelah hari Raya Idul Fitri yang dirayakan di banyak daerah di
Jawa Tengah. Pusat perayaan ini berada di Pantai Kartini, Jepara,
namun bisa juga disaksikan di Ujung Gelam, Pantai Koin, Karimunjawa, serta
beberapa tempat yang di tentukan sebelumnya.
Di Jepara, tradisi
kupatan (tradisi syawalan) dilakukan sepekan setelah hari raya Idul Fitri atau
pada tanggal 8 syawal di Pantai Kartini Jepara, dengan
melarung kepala kerbau ke tengah lautan. Tujuan diadakannya Pesta Lomban ini
sebagai bentuk nyata peran Pemerintah Kabupaten Jepara dalam melestarikan
budaya lokal Jepara, sebagai salah satu bentuk kearifan lokal Jepara sekaligus
event untuk mempromosikan potensi wisata Kabupaten Jepara khususnya wisata
budaya yang dimiliki Kabupaten Jepara.Tradisi ini biasa disebut dengan “Bada
Kupat”. karena pada saat itu masyarakat Jepara merayakannya dengan memasak
kupat (ketupat) dan lepet disertai rangkaian masakan lain seperti : opor ayam,
rendang daging, sambal goreng, oseng-oseng dan lain-lain. Selain itu, sering
pula disebut “ Pesta Lomban ” karena merupakan puncak acara dari Pekan Syawalan . Pesta Lomban
terdiri dari sedekah laut, festival kupat lepet, serta pesta Lomban itu
sendiri.
Tradisi unik ini telah ada sejak
ratusan lampau. Dan masih tetap terjaga sampai sekarang dan prosesi yang
dilakukan tetap sama.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengerian pesta lomban atau
bada kupat ?
2. Bagaimana sejarah terjadinya pesta lomban ?
3. Bagaimana prosesi
dari pesta lomban itu sendiri ? 4. Apa maksud diadakannya pesta
lomban ?
C. MANFAAT PENELITIAN
1. Mengetahui bagaimana budaya dan
tradisi di Jepara?
2.
Melestarikan budaya yang ada di daerah kita, supaya kita lebih mencintai bangsa
kita
3. Mempertahankan tradisi budaya lokal di
Jepara
D.METODE PENELITIAN
1. Literatur yaitu dengan cara
mencari sumber-sumber di internet.
2. Wawancara
yaitu dengan cara mewawancarai salah satu penduduk di Jepara.
BAB II
PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN
Istilah
Lomban oleh sebagian masyarakat Jepara disebutkan dari kata “Lomba-lomba” yang
berarti masyarakat nelayan masa itu bersenang-senang melaksanakan lomba-lomba
laut yang seperti sekarang masih dilaksanakan setiap pesta Lomban, namun ada
sebagian mengatakan bahwa kata-kata lomban berasal dari kata “Lelumban” atau
brsenang-senang. Semuanya mempunyai makna yang sama yaitu merayakan hari raya
dengan bersenang-senang setelah berpuasa Ramadhan sebulan penuh. Yang pasti,
bada lomban merupakan momen bagi para nelayan untuk bersenang-senang dalam
merayakan Idul Fitri setelah menunaikan puasa sebulan penuh. Tidak hanya para
nelayan, anak-anak yang tinggal di sekitar pantai menyemarakkan pesta rakyat
tersebut dengan memakai baju warna-warni.
Selain pesta
lomban, juga biasa dikenal bada kupat. Kupat adalah makanan tradisional yang
tidak asing lagi bagi masyarakat khususnya masyarakat Jawa Tengah . Secara
harfiah, ketupat(kupat) merupakan jenis makanan yang dibuat dari pembungkus
pelepah daun janur yang di dalamnya berisi beras yang sudah matang. Ketupat ini
hanyalah merupakan bentuk simbolisasi yang bermakna hati putih yang dimiliki oleh
seseorang yang kembali suci.
Ketupat dalam bahasa Jawa berasal dari singkatan “Ngaku Lepat” yang berarti mengakui kesalahan. Maknanya, dengan tradisi ketupat diharapkan setiap orang mau mengakui kesalahan, sehingga memudahkan diri untuk memaafkan kesalahan orang lain. Singkatnya, semua dosa yang ada akan saling terlebur bersamaan dengan hari raya idul fitri. Selain itu ketupat mengandung empat makna yakni: lebar, lebur, luber dan labur. Lebar artinya luas, lebur artinya dosa atau kesalahan yang sudah diampuni, luber maknanya pemberian pahala yang berlebih, dan labur artinya wajah yang ceria. Secara keseluruhan bisa dimaknai sebagai suatu keadaan yang paling bahagia setelah segala dosa yang demikian besar diampuni untuk kembali menjadi orang yang suci dan bersih.
Ketupat dalam bahasa Jawa berasal dari singkatan “Ngaku Lepat” yang berarti mengakui kesalahan. Maknanya, dengan tradisi ketupat diharapkan setiap orang mau mengakui kesalahan, sehingga memudahkan diri untuk memaafkan kesalahan orang lain. Singkatnya, semua dosa yang ada akan saling terlebur bersamaan dengan hari raya idul fitri. Selain itu ketupat mengandung empat makna yakni: lebar, lebur, luber dan labur. Lebar artinya luas, lebur artinya dosa atau kesalahan yang sudah diampuni, luber maknanya pemberian pahala yang berlebih, dan labur artinya wajah yang ceria. Secara keseluruhan bisa dimaknai sebagai suatu keadaan yang paling bahagia setelah segala dosa yang demikian besar diampuni untuk kembali menjadi orang yang suci dan bersih.
B.SEJARAH
Pesta
lomban itu sendiri telah berlangsung lebih dari satu abad yang lampau. Berita
ini bersumber dari tulisan tentang lomban yang dimuat dalam Kalawarti/Majalah
berbahasa Melayu bernama Slompret Melayu yang terbit di Semarang pada paruh
kedua abad XIX edisi tanggal 12 dan
17 Agustus 1893 yang menceritakan keadaan lomban pada waktu itu, dan ternyata
tidak berbeda dengan apa yang dilaksanakan masyarakat sekarang. Diceritakan
dalam pemberitaan tersebut, bahwa pusat keramaian pada waktu itu berlangsung di
teluk Jepara dan berakhir di Pulau Kelor.
Pulau
Kelor sekarang adalah komplek Pantai Kartini atau taman rekreasi Pantai Kartini
yang kala itu masih terpisah dengan daratan di Jepara. Karena pendangkalan,
maka lama kelamaan antara Pulau Kelor dan daratan Jepara bergandeng menjadi
satu. Pulau Kelor (sekarang Pantai Kartini) dahulu pernah menjadi kediaman
seorang Melayu bernama Encik Lanang, pulau ini dipinjamkan oleh Pemerintah
Hindia Belnda kepada Encik Lanang atas jasanya dalam membantu Hindia Belanda
dalam perang di Bali. Pesta Lomban kala itu memang saat-saat yang
menggembirakan bagi masyarakat warga nelayan di Jepara.
D. PROSESI
Pesta
Lomban masa kini telah dilaksanakan oleh warga masyarakat nelayan Jepara bahkan
dalam perkembangannya sudah menjadi milik warga masyarakat Jepara. Hal ini
nampak partisipasinya yang besar masyarakat Jepara menyambut Pesta Lomban. Dua
atau tiga hari sebelum Pesta Lomban berlangsung pasar-pasar di kota Jepara
nampak ramai seperti ketika menjelang Hari Raya Idul Fitri. Ibu-ibu rumah
tangga sibuk mempersiapkan pesta lomban sebagai hari raya kedua. Pedagang
bungkusan kupat dengan janur (bahan pembuat kupat dan lepet) juga menjajakan
ayam guna melengkapi lauk pauknya.
Malam
hari sebelum acara pesta Lomban berlangsung, biasanya diadakan pagelaran wayang
kulit semalam suntuk. Pada saat pesta Lomban berlansung semua pasar di Jepara
tutup tidak ada pedagang yang berjualan semuanya berbondong-bondong ke Pantai
Kartini. Pesta Lomban dimulai sejak pukul 06.00 WIB dimulai dengan upacara
Pelepasan Sesaji dari TPI Jobokuto.
Upacara
ini dipimpin oleh pemuka agama desa Jobokuto dan dihadiri oleh Bapak Bupati
Jepara dan para pejabat Kabupaten lainnya. Sesaji itu berupa kepala kerbau,
kaki, kulit dan jerohannya dibungkus dengan kain mori putih. Sesaji lainnya
berisi sepasang kupat dan lepet, bubur merah putih, jajan pasar, arang-arang
kambong (beras digoreng), nasi yang diatasnya ditutupi ikan, jajan pasar, ayam
dekeman (ingkung), dan kembang boreh/setaman. Semua sesaji diletakkan dalam
sebuah ancak yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah dilepas dengan do’a
sesaji ini dilarung ke tengah lautan. Pembawa sesaji dilakukan oleh sejumlah
rombongan yang telah ditunjuk oleh pinisepuh nelayan setempat dan diikuti oleh
keluarga nelayan, semua pemilik perahu, dan aparat setempat. Pelarungan sesaji
ini dipimpin oleh Bupati Jepara.
Tradisi pelarungan
kepala kerbau ini dimulai sejak Haji Sidik yang kala itu menjabat Kepala Desa
Ujungbatu sekitar tahun 1920. Upacara pemberangkatan sesaji kepala kerbau yang
dipimpin oleh Bapak Bupati Jepara, sebelum diangkut ke perahu sesaji diberi
do’a oleh pemuka agama dan kemudian diangkat oleh para nelayan ke perahu pengangkut
diiringi Bupati Jepara bersama dengan rombongan. Sementara sesaji dilarung ke
tengah lautan, para peserta pesta lomban menuju ke “Teluk Jepara” untuk bersiap
melakukan Perang Laut dengan amunisi beragam macam ketupat dan lepet tersebut. Di
tengah laut setelah sesaji dilepas, beberapa perahu nelayan berebut mendapatkan
air dari sesaji itu yang kemudian disiramkan ke kapal mereka dengan keyakinan
kapal tersebut akan mendapatkan banyak berkah dalam mencari ikan. Ketika
berebut sesaji ini juga dimeriahkan dengan tradisi perang ketupat dimana antar
perahu yang berebut saling melempar dengan menggunakan ketupat. Selanjutnya dengan disaksikan ribuan
pengunjung Pesta Lomban acara “Perang Teluk” berlangsung ribuan kupat, lepet,
kolang kaling, telur-telur busuk berhamburan mengenai sasaran dari perahu ke
perahu yang lain. “Perang Teluk” usai setelah Bupati Jepara beserta rombongan
merapat ke Pantai Kartini dan mendarat di dermaga guna beristirahat dan makan
bekal yang telah dibawa dari rumah. Di sini para peserta pesta Lomban dihibur
dengan tarian tradisional Gambyong dan Langen Beken dan lain sebagainya.
Bunyi petasan yang memekakkan
telinga dan peluncuran “Peluru” kupat dan lepet dari satu perahu ke perahu yang
lain. Saat “Perang Teluk” berlangsung dimeriahkan dengan gamelan Kebogiro.
Seusai pertempuran para peserta Pesta Lomban bersama-sama mendarat ke Pulau
Kelor untuk makan bekalnya masing-masing. Di samping makan bekalnya situasi di
Pulau Kelor tersebut ramai oleh para pedagang yang juga menjual makanan dan
minuman serta barang-barang kebutuhan lainnya. Selain pesta-pesta tersebut,
para nelayan peserta Pesta Lomban tak lupa lebih dahulu berziarah ke makam
Encik Lanang yang dimakamkan di Pulau Kelor tersebut. Sebelum sore hari Pesta
Lomban berakhir penonton dan peserta pulang ke rumah masing-masing.
C. MAKSUD
Maksud dari
upacara pelarungan ini adalah sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Allah,
yang melimpahkan rizki dan keselamatan kepada warga masyarakat nelayan selama
setahun dan berharap pula berkah dan hidayahnya untuk masa depan. Selain itu
pelarungan ditujukan sebagai salah satu bentuk rasa hormat kepada Yang Maha
Penguasa ‘sing mbaurekso’ sebagai ruh para leluhur yang mereka percaya dapat
menjaga dan melindunginya dari segala ancaman marabahaya dan mala petaka.
Tradisi
upacara yang masih bertahan dapat memberi gambaran bahwa masyarakat nelayan
masih memegang teguh adat istiadat yang diwarisi secara turun-temurun.
Kepercayaan terhadap leluhur, roh halus merupakan manifestasi keteguhan hati
yang masih mengakar pada diri nelayan Jepara dalam hal nguri-uri kebudayaan
leluhurnya
BAB III
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.KESIMPULAN
Lomban
seakan mengandung magnet yang mampu menyedot banyak orang berdatangan dari
berbagai penjuru tempat. Meski, sebenarnya tidak ada sesuatu yang sama sekali
baru yang “terhidangkan” di tradisi lomban jika dibandingkan dengan hari-hari
(libur) biasa. Perahu-perahu yang disewakan untuk pengunjung juga sama perahu
yang biasa melayani pengunjung di hari-hari (libur) biasa. Paling-paling hanya
sedikit dihiasi dengan bahan janur. Memang, biasanya saat kupatan ada
pertunjukan-pertunjukan hiburan rakyat yang jumlahnya relatif banyak. Dan,
situasi itu mengundang banyak pedagang untuk berjualan, baik jenis makanan
maupun suvenir (khas derah). Sekarang, berbagai lomba telah mulai berkurang.
Ritual tahunan kupatan, agaknya tak hanya untuk ajang rekresai tradisi
keluarga, tapi juga sebagai media bersilaturahmi antar pengunjung yang masih
memiliki ikatan sosial, apakah teman lama, kolega, tetangga kampung, ataupun
yang lainnya; jika di saat Lebaran mereka belum berjumpa.
Di samping
itu, dari sisi ekonomi, boleh jadi tradisi lomban menjadi lahan produktif. Tak hanya menguntungkan pengusaha
perahu/kapal, tetapi juga para nelayan, yang sehari-harinya ketika melaut tak
selalu “menjanjikan”. Warga pesisir yang memiliki usaha kerajinan tangan boleh
merasakan berkah. Pedagang musiman, yang barangkali tak hanya berasal dari
daerah setempat, tetapi daerah lain pun teranugerahi rezeki. Itu artinya,
perputaran ekonomi yang masih dekat dengan masa Lebaran, yang memungkinkan uang
dari pusat-pusat ekonomi tergelontorkan ke daerah boleh juga mereka cicipi demi
menjaga keberlangsungan hidup keluarga.
Dari
segi sosial, pesta lomban bisa menjadi sarana komunikasi antara masyarakat
dengan pemerintah Jepara serta antar masyarakat Jepara sendiri. Momentum pesta
lomban menunjukkan bahwa masyarakat Jepara memegang teguh tradisi yang telah
ada untuk diwariskan kepada penerus-penerus bangsa penerus-penerus bangsa.
B. SARAN
Sebagai
masyarakat, khususnya masyarakat indonesia kita harus lebih menjaga dan
mempertahankan budaya bangsa kita supaya tidak diakui oleh bangsa lain. Dengan
cara mempelajari dan melestarikan budaya di daerah kita khususnya.
Tradisi
Kupatan atau Lomban di Jepara sendiri harus tetap dilakukan setiap tahunnya,
agar kita selalu ingat dengan allah atas segala nikmat dan karunianya yang
diberikan kepada kita yaitu para nelayan tetap bisa mencari nafkah di laut dan
dengan harapan tidak ada bahaya atau musibah yang menimpa kita kedepannya.
Selain itu, masyarakat juga bisa lebih dekat
dengan pemerintah daerahnya yang selalu datang pada acara tersebut.
Masyarakat juga bisa saling menjaga tali silaturahmi antar keluarga, teman, maupun
tetangga, dan lain-lain.
DAFTAR
PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/pesta_lomban(diakses
tgl.7 mei 2013)